Postingan kali ini sedikit berbeda
karena saya akan menceritakan pengalaman baru dalam dunia skincare. Tapi mungkin tidak akan seperti postingan para beauty blogger. Pertama, karena saya
bukan beauty blogger dan belum ada niat untuk menjadi salah satu dari mereka. Kedua, apa yang saya alami ini mungkin tidak dialami oleh semua
orang, tapi saya harap bisa bermanfaat bagi yang sama-sama mengalami maupun
yang tidak (atau belum).
Beberapa bulan yang lalu saya mengalami
alergi parah di kulit wajah. Awalnya hanya jerawat-jerawat biasa yang saya
pikir muncul karena faktor hormonal. Sampai suatu hari alergi bertambah menjadi
bruntusan yang sangat banyak, bahkan sampai ke kelopak mata.
Saat itu saya adalah konsumen aktif produk
perawatan dari sebuah klinik kecantikan. Karena alergi yang sampai ke kelopak
mata tersebut maka pertimbangan penyebab alergi bukan karena krim perawatan
yang saya pakai melainkan karena faktor makanan. Kebetulan beberapa hari
sebelumnya saya makan cumi. Setelah mencari beberapa informasi, ada artikel
yang menyebutkan kemungkinan bahwa orang yang sebelumnya tidak alergi terhadap
makanan tertentu bisa menjadi alergi di kemudian hari. Alasannya bisa karena
kondisi tubuh yang sedang tidak fit atau perbedaan kadar alergen yang
terkandung di dalamnya.
Meskipun demikian setelah alergi tersebut
muncul, semua produk perawatan saya hentikan pemakaiannya. Awalnya saya memilih
untuk menyembuhkan alergi dengan cara membiarkan sembuh dengan sendirinya.
Namun setelah menimbang-nimbang berbagai hal, termasuk yang paling penting
adalah budget, diputuskan untuk memeriksakan ke dokter spesialis kulit dan
kelamin.
Kenapa saya tidak ke dokter di klinik
kecantikan tempat saya biasa melakukan perawatan? Pertama, waktu itu dokter
yang biasa menangani saya sedang cuti menikah dan harus menunggu sekitar
satu minggu sampai dia praktek lagi. Kedua, seandainya alergi ini disebabkan oleh
krim perawatan yang selama ini saya pakai -yang adalah resep dari dokter
tersebut- maka itu akan menjadi kunjungan yang sia-sia. Ini sama seperti kamu
nyari solusi ke orang yang bikin kamu jadi bermasalah.
Setelah melakukan riset instan alias
googling, diperoleh satu nama dokter yang buka praktek di rumah sakit Borromeus.
Dokternya baik dan cantik, pelayanan dari rumah sakitnya juga bagus, dan poli
kulit kelamin dengan gedung barunya sangat nyaman.
Kira-kira seperti ini percakapan saya
dengan beliau waktu itu:
Dokter : “Assalamu’alaikum, ada keluhan apa
mbak?”
S : *Lumayan kaget karena di rumah sakit
biasa pun jarang disapa pake assalamu’alaikum* “Wa’alaikumsalam.....” (kemudian
saya cerita).
Dokter : “Iya, itu karena alergi krim-krim
racikan. Perawatannya di klinik apa?” *sambil nulis-nulis*
S : “Di *piiiiiip* dok. Ini bruntusannya
sampai ke kelopak mata dok, kan saya nggak pakai krim sampai ke kelopak mata. Beberapa
hari sebelumnya saya makan cumi, apa bukan karena alergi cumi ya dok? Tapi saya
memang sebelumnya nggak ada alergi sama cumi sih dok.”
Dokter : *ketawa renyah tapi masih tetep
cantik* "Bukan, kalo alergi makanan dia bruntusannya besar-besar." *masih sambil
nulis-nulis* "Kelopak mata itu salah satu bagian yang lemah dan rentan, jadi
meskipun pemakaian krimnya tidak sampai situ tapi bagian yang lemah atau rentan
juga terkena efeknya.”
S : “Tapi saya udah pake krim itu setahunan
lho dok, bisa ya alerginya baru muncul sekarang?”
Dokter : ”Bisa. Ada yang namanya allergi
contact dermatitis, jadi zat nya menumpuk dulu di kulit, baru setelah beberapa
lama dia menyebabkan alergi. Tergantung dengan kondisi kulit juga.” <-- kira-kira ngomongnya begitu.
Ada dua salep, dua obat minum, dan satu
facial wash yang diresepkan oleh dokter dengan total biaya kurang lebih 350ribuan.
Seminggu setelahnya saya disarankan untuk datang lagi. Sepulang dari rumah sakit
saya mencari informasi tentang allergi contact dermatitis. Kebanyakan informasi
berasal dari luar negeri alias pakai bahasa inggris. Itu pun tidak semuanya
sesuai seratus persen sama dengan kondisi yang saya alami.
Seminggu kemudian saya datang lagi. Waktu
itu ngantrinya tidak selama saat kunjungan pertama. Kemudian ada satu hal yang
menurut saya sangat esensial untuk ditanyakan kepada seseorang yang ahli dalam
bidang perkulitan. Dan inilah pertanyaan saya: "Dok, jadi kalau ngerawat
kulit buat sehari-hari yang aman pake apa ya dok bagusnya?" Titah beliau
sebagai seorang ahli medis adalah: "Nanti saya kasih krimnya, sekarang
disembuhin dulu kulit wajahnya".
Oke. Di momen tersebut jika diibaratkan
sedang naik kereta dengan tujuan tertentu saya memutuskan untuk turun di
stasiun pemberhentian terdekat dan sambil dadah-dadah tersenyum getir sekaligus
iba. Awalnya saya merasa ini cuma masalah logika berpikir rasional, tapi
semakin ke sini saya merasa ini adalah sebuah jalan hidup, suatu pilihan yang
menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang harus siap saya terima. *mulai
sentimentil*
Pernyataan dokter untuk memberikan
pelayanan berupa penyediaan krim perawatan bagi pasiennya adalah satu hal, dan
pilihan saya untuk tidak lagi menjadi konsumen dari krim-krim tersebut adalah
hal lain lagi. Bukan salah dokter meracik krim demi estetika kulit pasiennya,
pun bukan salah dokter jika saya merasa kurang sreg untuk memulai lagi
perjalanan krim-kriman itu. Saya tidak meragukan keahlian dokter dalam
menyembuhkan dan merawat kulit nantinya, saya cuma merasa "ini bukan
jalannya".
Dari kunjungan kedua ke rumah sakit saya
kembali diberi obat-obatan berupa satu vitamin kulit, satu toner racikan dokter
yang salah satu komposisinya adalah alkohol 70%, dan satu krim anti iritasi
yang juga diracik oleh dokternya. Total biaya kunjungan kedua kurang lebih 300
ribuan.
Sejujurnya, saya tidak langsung seidealis
tadi saat baru melakukan kunjungan kedua. Tapi sudah ada perasaan bahwa saat
itu kalau waktu bisa diputar kembali mungkin saya akan memilih untuk tidak
melakukan perawatan di klinik kecantikan yang menyebabkan saya alergi. Kemudian
sekarang ada satu gerbang lagi terbuka untuk kesempatan yang sama, untuk tujuan
yang sama, dengan cara yang hampir sama. Ada peluang bahwa melakukan perawatan
dengan krim dokter yang kali ini bisa menyembuhkan kondisi kulit saya waktu itu.
Pun sebaliknya, ada juga peluang untuk saya menyesal di kemudian hari dan
berharap saya tidak memakai krim-krim racikan lagi.
Beruntunglah saya memiliki teman-teman yang
waktu itu sudah lebih dulu menyadari hal yang kebenarannya sudah nyata, hanya
saja perlu tamparan keras untuk saya sampai pada pemahaman itu. Pemahaman bahwa
hampir semua produk perawatan kulit yang ada di muka bumi ini, di-mu-ka-bu-mi-i-ni, mengandung
bahan-bahan berbahaya. Sebenarnya tidak hanya produk perawatan kulit saja, tapi juga sampo, deodoran, dan yang jelas ya krim-krim perawatan untuk wajah itu tadi.
Teman-teman tadi, Yoke dan Rizky (halo Riz,
Yok), yang tidak bisa saya jabarkan
riwayat hidupnya satu-satu di sini, adalah salah satu yang turut menguatkan
saya untuk tidak kembali lagi pada krim-krim dengan kandungan yang bahkan saya
nggak tau cara pengucapannya.
------------> Bersambung ke bagian ke-2............
1 comments
Aku merasa terpanggil #senyum #kalem
ReplyDelete