Di tengah kehidupan serba rungsing ini, yang menuntut segalanya untuk lebih cepat, lebih banyak, serta gaya hidup yang semakin lama semakin nggak bisa dimengerti esensinya, saya pernah berkhayal untuk bisa menghentikannya, atau paling tidak membuatnya sedikit lebih lambat. Banyak orang berpikir “untuk apa” “kemana” atau “apa yang sebenarnya diperjuangkan”. Tapi nggak banyak yang mau melihat diri secara jujur, bahwa yang dicari-cari selama ini sudah ada dan sudah dimiliki.
Ada banyak nilai filosofis yang bisa dijabarkan, atau direnungi satu-satu,
tapi saya mau membuatnya menjadi lebih simpel untuk gagasan tentang minimalism di tulisan ini.
Saya akan mulai dari yang cetek. Minimalism, adalah sebuah cara hidup untuk mengurangi/menghilangkan rasa
kepemilikan terhadap barang atau benda -possession with stuffs-. Ide ini muncul
dari kesadaran bahwa kebahagiaan tidak datang dari benda-benda yang kita
miliki, atau dari banyaknya uang yang kita punya untuk membelinya.
Semakin hari tanpa disadari kita hidup dengan beeegitu banyak
benda. Sebagian besar benda dibeli karena kita diberi tahu bahwa kita
membutuhkannya dan bahwa hidup kita bisa lebih bahagia dengan memilikinya. Semakin
banyak benda diproduksi, semakin banyak iklan yang dijejalkan, semakin besar
keinginan untuk membeli, dan semakin banyak waktu dihabiskan mencari uang untuk
membelinya.Begitulah konsumerisme bekerja, seperti lingkaran setan yang siap
menghanyutkan siapapun.
Dulu, waktu zaman nganggur, mungkin sekitar tahun 2013, zaman
tanggal muda adalah tanggal yang sangat biasa, sebiasa tanggal-tanggal lainnya,
saya pernah nemenin temen belanja. Dia beli tas jinjing dan sepatu untuk
menghadiri undangan pernikahan temannya beberapa hari lagi. Temen saya ini udah
kerja, dan gajinya lumayan, malah lumayan banget bagi saya yang waktu itu masih nyadong ke orang tua. Begitu sampai kasir saya kaget ngeliat total
belanja yang dihabiskannya. Saking kagetnya saya cerita ke temen saya yang
lain. Reaksi temen saya “halah paling kamu juga gitu besok kalo udah
kerja”. Dan beneran T_T Meskipun waktu itu saya ngomel-ngomel dan yakin kalo
saya nggak mungkin ngabisin uang sebanyak itu sekali belanja, ketahuilah bahwa kira-kira
setahun kemudian saya menjilat ludah sendiri.
Ketika setahun kemudian saya belanja dengan nominal yang bahkan nggak kalah banyak dari temen saya tadi, saya punya pembelaan.
“Oh mungkin memang begini ya kalo udah kerja dan punya gaji”
“Wajar lah, nyenengin diri, kan udah capek kerja”
“Apalagi dulu si anu kerjanya sampai lembur-lembur segala, ya maklum lah kalo dia ngabisin banyak uang buat beli barang. Mungkin itu salah satu cara bikin bahagia.”
Lalu saya
sadar, bahwa ada yang salah dengan logika berpikir yang terdengar sangat manis
dan rasional itu. Dan memang nggak sedikit kan hal-hal yang terdengar rasional
tapi bertolak belakang dengan nurani.
Berbekal keyakinan tersebut saya mencoba untuk mulai dari
diri sendiri, dari yang kecil, dan dari yang mudah. Awalnya memang saya bingung
cara memulainya dan merasa kalau barang-barang yang saya miliki memang
benar-benar saya butuhkan. Meskipun banyak sekali informasi tentang minimalism
di internet, do’s and don’t, dan banyak lagi artikel-artikel panduan lainnya,
saya merasa bahwa setiap agama butuh kitab. Ini cuma ibarat ya, plis jangan
tuduh saya murtad. -_-
Kitab yang saya maksud mungkin semacam panduan secara utuh
dan menyeluruh, bukan informasi sepotong-sepotong yang sulit untuk
direalisasikan. Kemudian, karena konon Jepang adalah master of
minimalism maka pilihan saya jatuh pada buku The Life Changing Magic of Tidying Up.
Sebagai anak kosan ada beberapa hal yang tidak bisa
sepenuhnya diterapkan. Tapi bagi saya, minimalism ini bisa diadopsi sesuai
kebutuhan namun tetap berpegang pada keyakinan bahwa barang, benda, stuff, matter,
will not bring happiness to us. So keep it less and do not attach to them.
Kurang lebih sudah dua bulanan sejak saya mengurangi
barang-barang yang saya miliki. Jujur, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, live
with less is really makes me happier and calmer. Sedikit sulit untuk menggambarkannya,
selain karena kemampuan saya yang terbatas dalam berkata-kata, juga
keterbatasan kata-kata itu sendiri dalam mewakili suatu perasaan. It is hard to
explain how unbelievably amazing it feels to remove the clutter from my room
and life.
Mungkin bisa dianalogikan seperti ini, semakin banyak benda
berarti semakin banyak distraksi terhadap pikiran, semakin banyak distraksi maka
semakin sulit untuk bisa berkomunikasi dengan diri sendiri. Percayalah, setiap
kita punya kemampuan ini. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri bisa
dengan alami berfungsi jika kita mampu berpikir jernih dan isi kepala ini nggak
riuh.
Saya bukan tipe orang yang bisa konsisten, tapi sekalinya
lagi seneng bakal keranjingan sampai lupa yang lain. Jadi ibarat nemu buku
bagus saya bakalan merekomendasikan ke orang sampai berbusa-busa, begitu juga
dengan minimalism ini. Dan yang jadi korbannya adalah adik sendiri.
Kebetulan beberapa waktu lalu adik saya nginep di kosan
dan dia menyadari ada yang berubah dari kamar saya. Jadilah saya cekoki dia
dengan paham minimalism ini. Kemudian waktu saya pulang ke Kebumen dia setuju
saya tawari untuk diajari ngerapihin kamarnya yang super berantakan. Setelah selesai
beberes, komentar dia adalah “deneng dadi kaya nembe pindahan ya mbak, kamare kosong”
yang kira-kira artinya “kok jadi kaya baru pindahan ya mbak, kamarnya kosong”.
Sebenarnya kamarnya nggak bener-bener kosong secara harfiah,
ada satu kasur, satu meja belajar yang nyambung lemari kecil, satu lemari
plastik jenis laci, dan satu meja bekas tempat PC. Meja bekas PC ini sebenernya
perlu disingkirkan karena fungsinya yang dipertanyakan, tapi harus ngelewatin
omelan bapak ibu dulu untuk ngebuang barang segede itu dari rumah. Yang membuat
adik saya ngerasa kamarnya kosong mungkin adalah karena sudah nggak ada map-map
di atas meja, nggak ada buku-buku di atas rak, dan nggak ada lagi
pritilan-pritilan nggak jelas bertebaran. Selebihnya kamarnya masih kepenuhan
barang tapi sudah jauh lebih manusiawi.
Nggak papa ngeracunin adik sendiri, toh dia happy. 😀
Menjadi minimalist adalah proses yang berkelanjutan dan
bukan hasil instan. Itu yang saya yakini. Karena bagi beberapa orang
mungkin nggak mudah untuk tiba-tiba hidup dengan segelintir benda yang
sebelumnya sangat banyak. Nggak cuma proses mengurangi saja, tapi
juga proses menahan untuk membeli/menambah benda/barang. Prakteknya gampang-gampang
susah, tapi lama-lama juga bakal terbiasa.
Selain bukunya Marie Kondo, ada satu film dokumenter yang
layak ditonton berjudul Minimalism: A Documentary About The Important Things. Terlepas
dari sinopsisnya, bagi saya film ini berusaha mengajak untuk mendefinisikan
kembali arti sukses bagi setiap orang. Dari film ini juga saya memperoleh
pemahaman bahwa minimalism bukan sekadar mengurangi benda atau kepemilikan
terhadapnya, lebih dari itu minimalism adalah sebuah cara berpikir untuk lebih
sadar dalam menjalani segala hal, yang porsi besarnya adalah hidup itu sendiri.
Dengan kesadaran ini diharapkan hal-hal yang kita lakukan, waktu yang
digunakan, dan segala hal yang dikorbankan selama kita hidup adalah hal yang
kita tahu esensinya, urgensinya, dan kebermanfaatannya. Yang lebih penting
lagi, dan perlu ditanyakan betul-betul pada diri sendiri adalah “will this
really makes me happy?” 💖
Richness is not having many belongings, but richness is the richness of the soul contentment. -Prophet Muhammad SAW-
Man sacrifices his health in order to make money. Then he sacrifices money to recuperate his health. And then he is so anxious about the future that he doesn't enjoy the present; the result being that he doesn't live in the present or the future; he lives as if he is never going to die, and then dies having never really lived. -Dalai Lama-