Nggak semua orang bisa melihat sisi baik dari keadaan yang buruk, dan nggak semua orang bisa ngelawak dengan bijak dari latar peristiwa yang menyedihkan. Setiap cerita selalu punya banyak sisi. Dan di buku ini Etgar Keret menunjukkan sisi manusiawinya yang masih bisa marah, kesal, atau benci akan sesuatu tapi pada akhirnya tetap mampu menyikapi dengan sisi humoris yang ditemukannya.
Judul : The Seven Good Years
Penulis : Etgar Keret
Penerbit : Bentang
Etgar Keret adalah seorang penulis keturunan Yahudi asal Israel. Dia juga seorang ayah, adik, anak, dan suami. Buku ini berisi esai-esai yang ditulisnya dari peristiwa sehari-hari yang dialami Keret selama tujuh tahun. Kurun waktu tujuh tahun ini ditarik dari ketika anak pertamanya lahir dan berakhir sampai ketika ayahnya meninggal.
Etgar Keret adalah seorang penulis keturunan Yahudi asal Israel. Dia juga seorang ayah, adik, anak, dan suami. Buku ini berisi esai-esai yang ditulisnya dari peristiwa sehari-hari yang dialami Keret selama tujuh tahun. Kurun waktu tujuh tahun ini ditarik dari ketika anak pertamanya lahir dan berakhir sampai ketika ayahnya meninggal.
Saya tau buku ini dari Windy Ariestanty, lebih tepatnya
direkomendasikan oleh beliau waktu beberapa bulan lalu ikut workshop
kepenulisan di Jakarta. Di kelas kepenulisan tersebut, salah satu cerita di
buku ini jadi contoh untuk materi membuat paragraf awal yang bagus. Ternyata,
nggak cuma bagus di bagian paragraf awal tok, buku ini emang bagus dan
kebanyakan ceritanya diakhiri dengan paragraf yang menurut saya
sangat-bikin-senyum-senyum-sendiri. Menghibur iya, nyentil iya, dan ironis juga.
Untuk sebuah cerita dari seorang warga negara yang mengalami
konflik atau perang, yang secara logika harusnya lebih sering inget mati, buku
ini lucu banget. Tapi untuk buku humor, The Seven Good Years terlalu banyak
menyimpan pemikiran-pemikiran penting yang ingin disampaikan. Terlepas dari
keduanya, menurut saya Keret bisa jadi nggak pengen ngelawak banyak-banyak, tapi mungkin
memang begitulah cara berpikirnya. Santai, luwes, jenaka, dan tetap nggak
kehilangan isi.
Salah satu cerita yang saya suka adalah cerita Keret waktu
menulis cerita pertamanya. Cerita ini diberi judul “Kesialan”. Dia masih 19
tahun dan lagi wajib militer. Setelah ceritanya yang katanya pendek banget itu
selesai dia ngerasa butuh pembaca pertama. Orang yang akhirnya jadi pembaca
pertama adalah kakaknya sendiri. Menurut kakaknya cerita yang ditulis Keret
bagus, terus kakaknya nanya punya salinan ceritanya apa nggak. Setelah Keret mengiyakan
kakaknya langsung pake kertas tersebut buat nyiduk (maaf) kotoran (maaf)
anjingnya dan ngebuangnya ke tempat sampah (lolol kakak macam apa). Dan momen
itu adalah momen ketika Keret menyadari bahwa dia pengen jadi penulis. Bagi dia
kakaknya lagi ngajarin kalo tulisan itu bukan penting di fisiknya, tapi di diri
penulis itu sendiri. Seperti apa tulisannya bisa menjadi penghubung antara
perasaan dan pikirannya.
Selain cerita-cerita tentang kegiatan kepenulisannya, buku
ini banyak berisi cerita tentang istri dan anaknya. Tentang membesarkan anak
mereka di negara konflik yang sudah harus dipikirkan karirnya sejak anak itu
masih tiga tahun. Tentang rumah mereka yang nyaris nggak keurus karena ada isu
Israel bakal diratakan pake bom nuklir. Dan juga, tentang paranoidnya menjadi
seorang Yahudi.