Less is more. Saya tertarik dengan istilah ini sejak lama, tapi baru
benar-benar merasakan setelah memutuskan untuk belajar menjadi minimalis.
Minimalism yang awalnya saya kenal sebagai sarana untuk mengurangi rasa
kepemilikan, secara perlahan ternyata mengubah banyak hal yang
nggak pernah diduga. Prosesnya memang nggak semalam jadi, namanya juga belajar.
Padahal sebelumnya nggak pernah seniat ini belajar sesuatu hal.
Minimalism bukan agama, bukan aliran spiritual, bukan pula step-by-step
yang kaku untuk dilakukan. Semua orang bisa mengadopsinya dengan kebutuhan
masing-masing, dengan caranya sendiri. Biasanya stigma yang muncul adalah “cuma
boleh punya x barang untuk jadi minimalis”, “cuma pakai baju dengan warna-warna
itu tok”, “nggak kerja nine-to-five”, “nggak punya kendaraan pribadi”, dan lain
sebagainya. Apapun stigma yang muncul sebenarnya nggak masalah, pada akhirnya
yang ngejalanin juga yang bakal paham. Stigma yang muncul tadi bisa jadi sesuai
untuk beberapa minimalis, tapi bukan berarti setiap yang jadi minimalis harus
ngelakuin itu.
Tentang Mengurangi Barang
Pondasi dari minimalism adalah “menemukan kadar cukup”, dari
apapun. Dan semuanya diawali dengan mengurangi yang ‘keliatan’. Metodenya
banyak, macam-macam, tapi intinya sama: identify the essential, eliminate the
rest. Pada akhirnya, perlahan ini akan terinstal (((terinstal))) di banyak
aspek kehidupan. Sekalinya tahu mana yang penting dan yang dibutuhkan, secara
alami ‘alarm’ itu akan kembali aktif. Semacam ngelatih kepekaan alarm yang selama
ini ada tapi nggak berfungsi, atau berfungsi tapi lemah.
Manfaat yang diperoleh
Less Stress
Semakin banyak pilihan semakin sulit manusia untuk
menentukan pilihan. Dan semakin banyak pilihan ternyata nggak membuat manusia
lebih puas atau bahagia. Padahal semakin banyak pilihan seharusnya manusia semakin merdeka.
Contoh sederhananya, kalo beli baju di mall pembeli disuguhi
dengan banyak sekali baju dengan warna, jenis kain, model dan ukuran yang
bermacam-macam. Semakin banyak pilihannya maka akan semakin sulit untuk
menentukan. Setelah dibeli dan dimiliki, perasaan semacam “harusnya tadi beli yang model x", “harusnya beli
yang warna y”, “kayaknya lebih bagus yang motif z”, “harusnya liat-liat lagi ke
toko yang lain” akan punya peluang lebih sering muncul di kemudian hari. Ada kecenderungan untuk merasa bahwa di antara pilihan yang tidak dipilih ada kemungkinan untuk menemukan yang lebih baik dari yang dipilih. Selalu
ada perasaan kurang. Dan dunia ini seolah dirancang untuk mengimbangi nafsu
manusia yang nggak pernah merasa cukup. Ingin lebih dan lebih.
Less stuff = less stress. Setelah mencoba ngurangin barang,
hal yang paling kerasa berubah adalah bebersih itu jadi lebih gampang. Dengan
barang yang tinggal adalah barang yang benar-benar dibutuhkan maka pikiran nggak keisi atau terdistraksi dengan barang yang nggak dibutuhkan. Kuncinya,
kurangi sampai cukup.
Menemukan level cukup untuk diri sendiri adalah latihan
untuk menyadari satu hal, bahwa memiliki lebih banyak barang bukan jawaban dari
yang kita butuhkan, dan bukan juga sarana untuk melengkapi yang kurang.
Minimalism mengajari saya bahwa bahagia itu bukan dari apapun atau siapapun.
Bahagia itu pekerjaan hati. Dan puncaknya bahagia mungkin adalah ketika hati
ini diberi rasa cukup. Cukup kedengarannya sederhana. But “cukup” means a lot.
Berapa banyak yang dikasih harta melimpah tapi hatinya nggak pernah merasa cukup?
(oh wi, ngomong naon maneh)
Lebih Bersyukur
Punya hal-hal yang benar-benar berarti, bikin bahagia, dan
penting, meskipun nggak banyak, tanpa terganggu dengan yang nggak dibutuhin,
bisa membuat pikiran lebih terbuka dan jernih bahwa yang dimiliki sangat
berharga dan bermanfaat. Rasa syukur dengan memiliki mereka jadi lebih terasa.
Percayalah. Less is more.
Lebih Hemat
Setelah nyobain ngurangin barang dan menjaga yang
benar-benar penting, disukai, dibutuhkan, keinginan membeli barang jadi
berkurang karena sadar gimana sia-sianya punya barang yang nggak perlu. Selama yang dimiliki
cukup selama itu juga saya merasa bahwa nggak ada alasan dan keharusan untuk
beli atau nambah barang. Sejak jadi minimalis, belanja bukan lagi jalan untuk
ngilangin stress atau wahana cari kebahagiaan. As i mentioned before, happiness
is an inside job.
Lebih Sehat
Nggak ada lagi beli barang karena “mumpung diskon”, nggak
ada lagi beli barang karena “ih lucu”, nggak ada lagi beli barang karena model
baru, dan nggak ada lagi beli barang selain karena memang butuh. Call me old
fashioned, but i like simple things. It saves more extra money. Artinya penghematan anggaran bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih penting, seperti
kesehatan.
Udah dari lama pengen banget bisa mengolah makanan
sendiri, dan sekarang ini baru kesampaian. Belanja sayuran dan buah tiap
weekend, nyetok bahan masakan buat seminggu, dan nyiapin makanan atau masak
sebelum makan memang kedengaran sedikit lebih ribet dibandingkan dengan jalan
kaki ke warung untuk beli nasi bungkus. Tapi sehat memang perlu dibayar dengan
perjuangan seniat itu. Sehat bukan hal yang menggiurkan ketika masih dimiliki. Setelah dikasih sakit baru kerasa mahal dan nikmatnya. Apalagi kalo sakitnya
serius, sekalipun punya gunung emas pasti keinginannya cuma satu, sembuh.
Saya hidup di lingkungan yang secara nggak langsung
ngingetin kalo sehat itu investasi dan bukan hasil instan. Mulai dari orang
tua, tetangga, saudara, sampai teman kantor. Bukannya bersyukur atas kesusahan
orang lain, tapi mereka yang lagi dikasih takdir sakit bukankah adalah
pelajaran bagi yang dikasih nikmat sehat? Ya. Saya memaknai minimalism punya peran ke ranah ini. Bahwa sehat itu penting. Kalaupun nanti ditakdirkan untuk sakit, ya
sudah, disyukuri, karena sakit juga bisa jadi penggugur dosa. Tapi menjaga agar
tubuh tetap sehat adalah salah satu bentuk apresiasi terhadap satu-satunya
‘kendaraan’ yang saya miliki untuk hidup dan rasa terima kasih kepada Yang
Memberi tubuh ini.
Fokus pada Yang Penting
Identify the essential, eliminate the rest. Setelah
mengurangi yang keliatan dan alarm berfungsi, bertahap hati saya mempelajari
hal yang sama. Sepertinya, inti dari minimalism malah di sini. Mengurangi
barang itu ternyata baru pijakan awal, setelah alarm aktif dan menyala, semua
akan berjalan alami dengan sendirinya.
Alarm ini menyala ketika saya ngerasa ada sesuatu yang
terlalu berlebihan atau sesuatu yang saya bingung sendiri niatnya untuk apa. Di
titik ini saya menemukan irisan antara minimalism dan spiritualism. Dalam Islam,
amal itu dilihat dari dua hal, niat dan cara. Niatnya lurus dan caranya benar. Memperbaiki
niat ternyata nggak semudah ngomongnya. Melalui minimalism hati saya belajar
berfokus pada yang penting. Dan sejak itu hati ini jadi belajar peka dengan
niat, jadi sering nanya ke diri sendiri seperti “untuk apa?”, “kenapa
ngelakuin ini?”, “tujuannya apa?”, “manfaat nggak?”.
So, Good Bye Social Media
Media sosial adalah salah satu yang membuat saya
mempertanyakan kegiatan yang saya lakuin sendiri. Mulai dari scrolling sampai
posting. Saya menemukan bahwa saya nggak punya keharusan untuk ngeliatin semua
postingan orang. Da emang nggak ada yang nyuruh. Tapi inti yang saya temukan
sampai saat ini adalah manfaat yang didapat nggak sebanding dengan waktu dan
pikiran yang terpakai. (Wi? Sehat?)
Pun postingan yang diupload. Nggak ada keharusan apapun
untuk membagi setiap momen yang saya alami dengan followers atau siapapun lah. Kalaupun
harus dibagi, kadang pertanyaan yang muncul “benerankah niatnya cuma mau
berbagi?”.
“Harus serumit itu tah wi hidupmu?”
Me: “Justru ini yang nggak rumit”
Waktu Lebih Banyak
Sekitar hampir dua bulan saya udah nggak pakai medsos lagi,
khususnya facebook, instagram dan twitter. Menyisakan Youtube dan Pinterest dengan
pertimbangan dua-duanya banyak resep masakan, jahit-menjahit, dan hal-hal lain yang memang dirasa perlu. Identify the essential, eliminate the rest. Waktu yang biasanya buat
buka media sosial bisa dialihkan ke hal lain yang lebih manfaat, seperti baca, masak,
olahraga, yoga, nulis, atau bahkan traveling. Man, dunia ini luas.
Hadir di Momen Kini
Saya sering mendapati pikiran nerawang jauh dan nggak
nyambung dengan apa yang lagi dilakuin. Padahal waktu yang benar-benar dimiliki
adalah sekarang, bukan yang sudah lewat atau yang belum datang. Dan seharusnya
di situlah kita hidup dan hadir utuh di detik yang sedang dilewati. Media sosial
selama ini menjajah pikiran saya tanpa disadari.
Nggak ada salahnya berbagi momen lewat foto atau video, tapi
bagi saya memaknai apa yang sedang dirasakan dan benar-benar hadir, utuh,
sepikiran-pikirannya adalah hal terbaik yang bisa diberikan ke semua indra di
tubuh ini. Jiwa ini kadang cuma butuh tenang, bukan perhatian orang.
Being Content
Selama belajar menemukan kadar cukup, lahir maupun batin,
entah gimana, segalanya jadi jelas, atau menurut yang saya rasain jadi lebih
kenal sama diri sendiri. Minimalism menjadi semacam jalan buat nemu jawaban
pertanyaan-pertanyaan generasi twenty-something yang ngalamin quarter-life
crisis. Atau saya lah.
Lepas dari Topeng
The last but not least, minimalism mengajarkan saya untuk aware sama esensi. Minimalism mengajarkan saya untuk lepas dari apapun, siapapun,
bahkan dari minimalism itu sendiri. Kita seharusnya nggak butuh label untuk
bisa bahagia, nggak butuh topeng dunia untuk jadi mulia, dan nggak perlu
siapapun untuk merasa lengkap. Lahir maupun pulang kelak, yang dipunyai ya cuma
diri sendiri.