“Bu, kalo aku nggak sekuat ini mungkin Ibu ya yang bakal
jadi kuat buat nguatin aku?” kataku tiba-tiba siang itu.
Ibu seketika menyambar ujung dasternya dan mengusap air mata
yang secara menakjubkan mengalir tepat setelah aku mengucapkan pertanyaan itu.
Aku pun segera tersadar dan kaget, karena sepertinya ibu punya kemampuan menangis lebih cepat dari siapapun.
“Nggak wi, ibu bakal tetep sedih, ibu bakal tetep sakit”
katanya sambil masih mengelap sisa-sisa air mata. “Kamu kuat begini karna
dikuat-kuatkan kan? Biar ibu dan bapak nggak sedih?” sambungnya dengan suara
yang mulai serak dan bergetar. Untuk sesaat dengan polosnya aku baru yakin bahwa ibu nangis
betulan.
Aku terkekeh, mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan ibu.
Atau lebih tepatnya mencoba agar ibu tidak larut dalam kesedihannya. “Nggak lah
Bu, aku nggak sedih kok" kataku
mencoba jujur. “Aku yakin kalo seandainya reaksiku nangis-nangis, Ibu yang
bakal nguatin aku. Aku kuat begini juga dari Ibu” lanjutku sambil memiringkan
kepala mencoba mencari-cari pandangan ibu yang kosong.
“Ibu pasti akan tetep sedih ngeliat kamu begini. Tapi malah kowe sing uwes tatag*”
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya cepat. Entah
untuk menahan air mata yang mulai membumbung atau sekadar untuk memecah
keheningan antara aku dan ibu. Aku bersyukur, karena sepertinya aku dikaruniai
kemampuan menahan tangis lebih kuat dari siapapun.
Aku suka ngobrol dengan ibu. Entah sejak kapan. Padahal waktu kecil
aku lebih dekat dengan bapak, seperti melanggengkan mitos bahwa anak perempuan
akan lebih dekat dengan bapaknya. Aku bangga setengah mati tiap kali orang
menyebutku ‘anak bapak’. Sepertinya aku bisa langsung melipat kedua tanganku di
dada dan mengangkat dagu tinggi-tinggi seolah berkata ‘ini lho anak bapak’.
Beranjak dewasa hubunganku secara emosional jauh lebih dekat
dengan ibu. Hampir tidak ada obrolan yang membosankan antara kami berdua. Obrolan
kami jarang sekali dangkal. Kami selalu punya cara sendiri untuk berfilosofi
menggabung-gabungkan puzzle cerita. Semakin dewasa aku baru sadar
bahwa sulit untuk menemukan orang seperti itu. Orang seperti ibu.
Kadang hal yang membuatku ingin pulang bukan lagi karena
masakan rumah atau main ke pantai, tapi aku rindu ngobrol dengannya. Ibu
ibarat sumur yang tidak akan pernah tumpah sebanyak apapun aku bercerita.
Padahal di antara kami berdua ibu yang selalu akan menangis, tidak peduli
ceritaku sedih atau bahagia.
Semakin lama aku sadar bahwa aku bukanlah satu-satunya ‘klien’
ibu. Aku merasa ibu punya bakat mendengarkan, dan orang-orang suka bercerita
dengannya. Satu hal yang aku sadari, ibu selalu memberikan perhatian penuh
setiap kali mendengarkan. Air mukanya menunjukkan seakan dia selalu haus mendengar
lanjutan cerita-cerita yang akan keluar. Seperti anak kecil yang tidak
bosan-bosannya didongengi sebelum tidur.
Salah satu ‘klien’ ibu adalah teman dekatku yang sejak SMP
suka main ke rumah dan bercerita pada ibu tentang banyak hal. Sampai suatu ketika
di saat kami sudah bekerja dan dia bercerita hal yang menyedihkan tentang
dirinya, dia lalu berpesan, “Jangan cerita ke ibumu ya, nanti ibu nangis”.
Seperti kubilang tadi, kalau ada lomba nangis aku yakin ibu masuk babak final.
Sedangkan aku, masih berlindung di balik tembok dingin tebal nan tinggi dan tidak mau ibu dan bapak melihatku lemah apalagi menangis. Tidak peduli
sekalipun aku remuk di dalam. Bagiku menangis di depan ibu atau bapak adalah
hal terakhir yang akan aku lakukan di dunia ini.
Membiarkan mereka melihatku menangis sama saja dengan
menyakiti hatiku dua kali lebih kejam. Karena itu berarti kesedihanku akan
menjadi kesedihan mereka lalu kesedihan mereka menjadi kesedihanku lagi,
seperti lingkaran setan kesedihan yang siap menyedot kebahagiaan makhluk
sebahagia tupai sekalipun.
Siapapun boleh menyakitiku, tapi tidak orang tuaku.
*kowe sing uwes tatag = kamu yang sudah sabar
Siapapun boleh menyakitiku, tapi tidak orang tuaku.
*kowe sing uwes tatag = kamu yang sudah sabar
0 comments